Harapan Anak Bangsa, Energi Terbarukan Tanpa Syarat

KATA sustainable atau berkelanjutan sudah menjadi perhatian dan gagasan besar dunia. Setiap Negara seakan wajib memperhatikan gagasan tersebut sebagai upaya ikut menyelamatkan dunia. Kata sustainable sendiri dikutip dalam istilah Bank Dunia adalah kemampuan manusia untuk dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengorbankan generasi masa depan dalam memenuhi kebutuhan sekarang.
Pemerhati kebijakan publik, Dr Ade Indra Chaniago menegaskan, dalam dua dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi dunia selaras dengan permintaan energi yang besar. Belakangan pula, Negara maju membangun kesadaran akan pentingnya efisiensi energi hingga akhirnya menjadi isu dunia.
‘’Saat ini, kesadaran akan pentingnya isu lingkungan menjadi perhatian dunia. Tak heran, berbagai gerakan dilakukan baik oleh kelompok masyarakat sipil maupun government sudah cukup massiv,’’ tegasnya.

Mulai dari isu perubahan iklim, lingkungan hingga isu energi terbarukan, menjadi program terstruktur diberbagai tingkatan.
Dikatakan staf pengajar STISIPOL Chandradimuka Palembang ini, langkah maju ini juga diikuti dalam berbagai terobosan. Baik melalui policy hingga kombinasi teknologi yang ciptakan untuk ikut menjaga lingkungan.
Tak ketinggalan pula kombinasi teknologi efisiensi energi, menghasilkan zero net energi. Kabar baik lagi, kemajuan teknologi yang pesat sejalan dengan penurunan energi berbahan fosil dan semakin murahnya menjangkau energy terbarukan bagi setiap orang.
Salah satu yang paling nyata di depan mata adalah, energi listrik paling siap diadopsi untuk mendukung teknologi kebutuhan sehari-hari mulai dari kebutuhan dapur hingga alat transportasi. Banyak perusahaan dunia, memulai investasi skala besar dalam energi terbarukan khususnya energi listrik.
Sejalan itu, Pemerintah Indonesia juga terus mendukung langkah dalam upaya melakukan transisi energi bersih di Tanah Air demi mencapai carbon neutral pada 2060. Ini seakan menjawab tantangan energi terbarukan sudah menjadi keharusan ditengah tantangan global yang kian kompleks.
Dalam transisi energi, Pemerintah sudah menetapkan peta jalan melalui upaya peningkatan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) menjadi 29 gigawatt (GW) pada 2030. Hal itu tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang disebut-sebut paling hijau.
Disisi lain, sektor rumah tangga dan usaha kecil juga menjadi sasaran dalam memperkenalkan energi terbarukan. Gencarnya sosialisasi  dan rekomendasi penggunaan kompor induksi di dapur rumah tangga dan usaha kecil karena lebih aman, praktis, efisien dan nyaman.
Transisi energi impor ke domestik melalui penggunaan kompor listrik induksi juga demi terciptanya kemandirian energi nasional. Pemanfaatan kompor induksi memiliki beragam keunggulan dan manfaat yang dapat dirasakan tak hanya masyarakat tapi juga Negara.
Praktisnya kompor listrik bekerja begitu alat masak diletakkan di atas kompor. Lalu arus listrik bolak-balik dilewatkan dari dalam badan kompor melalui gulungan kawat. Panas yang dihasilkan langsung dialirkan ke alat masak.

Sehingga jika tersentuh dengan anggota tubuh kita tidak terasa panas dan relatif aman. Dari sisi waktu memasak juga lebih cepat karena kompor induksi memungkinkan penyebaran panas yang lebih merata ketimbang kompor gas sehingga hemat waktu.
Keunggulan kompor induksi berikutnya adalah lebih aman, kompor tersebut tidak menimbulkan api dan asap sehingga risiko menimbulkan kebakaran jauh lebih kecil. Juga tidak ada potensi ledakan akibat bahan bakar. Kompor induksi yang tanpa api dan asap juga lebih sehat bagi penggunanya sebab tidak menghasilkan emisi, selain itu juga ramah terhadap anak-anak karena lebih aman.
Soal harga, kompor induksi juga lebih murah dibandingkan dengan kompor LPG. Hasil uji coba menunjukkan, rumah tangga kecil rata-rata mengkonsumsi 11,4 kg LPG subsidi dengan biaya Rp 79.400 per bulan setelah disubsidi pemerintah sebesar Rp 125.400, sehingga total biaya yang dibutuhkan untuk memasak menggunakan LPG mencapai Rp 204.800 per bulan.
Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR PLN, Agung Murdifi menjelaskan, biaya yang dibutuhkan untuk memasak menggunakan kompor induksi sebagai berikut, harga listrik tanpa subsidi 1 kWh Rp 1.444,7. Sedangkan kebutuhan listrik per bulan sebesar 82 kWh, dengan begitu biaya yang dibutuhkan untuk masak per bulan menggunakan kompor induksi tanpa subsidi sebesar Rp 118.465 sehingga terdapat penghematan sekitar Rp 86.335 setiap bulan.
Tak hanya pengguna yang mendapat manfaat, negara juga memperoleh penghematan subsidi dan impor jika masyarakat beralih menggunakan kompor induksi. Dalam kajian pihaknya, ujar Agung lagi, untuk konversi sejumlah 300 ribu pengguna per tahunnya, dapat memberikan penghematan subsidi LPG sekitar Rp 450 miliar dan menekan biaya impor LPG sebesar Rp 220 miliar.
Kompor induksi telah digunakan segala sektor baik rumah tangga hingga komersial, dan mendapat sambutan warga pemilik usaha kecil. Imran sang pemilik kafe mengatakan, tempat usahanya telah meninggalkan kompor berbahan bakar LPG dan beralih menggunakan kompor induksi untuk mendukung kebutuhan operasionalnya.
Imran mengisahkan, awalnya ia beralih menggunakan kompor induksi untuk disesuaikan dengan desain konsep kafe kekinian. Namun setelah berjalannya waktu, Imran pun juga merasakan keunggulan lainnya. Â “Bentuk kompor induksi itu kekinian, sesuai dengan konsep kafe kami. Ternyata juga lebih bersih dibanding kompor gas,” kata Imran.
Bapak dua anak ini mengaku, lebih menghemat pengeluaran dalam biaya operasional energi ketika menggunakan kompor induksi. Selain itu waktu memasak juga menjadi lebih cepat karena panas yang dihasilkan pun optimal.
Semakin berkembangnya energi terbaru didukung semua stakeholder. Misalnya, penambahan infrastruktur pendukung operasional Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) Nasional roda dua. Juga dibuka kesempatan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menyediakan SPBKLU di lokasi-lokasi strategis untuk memudahkan para pengguna kendaraan listrik.
Berdasarkan Roadmap Ekosistem stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) dari Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, hingga akhir tahun ini pemerintah menargetkan 4.900 unit SPBKLU yang akan melayani sekitar 59,6 ribu kendaraan roda dua. Angka ini akan terus meningkat, di 2025 menjadi 17,8 ribu, dan 68,8 ribu pada 2030.
Dukungan itu memasifkan kendaraan listrik juga disertai dengan penyediaan energi hijau dari pembangkit-pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT). Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, porsi pembangkit listrik berbasis EBT pada 2030 ditargetkan mencapai 29 gigawatt (GW). Untuk mencapai target tersebut, bakal menambah pembangkit EBT baru hingga 20,9 GW.
Keseriusan mengelola energi terbarukan, ditegaskan pula Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan (EBT) PLN, Wiluyo Kusdwiharto. Menurutnya, pada 28 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan total energi hijau yang dihasilkan 96.061 Megawatt hour (MWh) hingga Februari 2022.
Pencapaian tersebut menjadi bukti keseriusan mendukung program transisi energi bersih menuju carbon neutral pada 2060. ‘’Pengunaan teknologi co-firing di PLTU merupakan salah satu upaya dalam mengurangi emisi di sektor kelistrikan,’’ ujarnya.
Pengembangan energi terbarukan sejalan dengan bidang teknologi otomotif untuk pemanfaatan teknologi berbasis industri bersih, integrasi energi terbarukan serta efisiensi energi. Sebagai bukti, Presiden Jokowi sendiri meresmikan Mobil Listrik Rakitan Indonesia. Diharapkan dengan masifnya kendaraan listrik, maka pengurangan emisi karbon dari sektor transportasi bisa cepat dicapai.

Presiden sendiri berharap, kedepan kendaraan listrik harus menjadi moda transportasi utama negara Indonesia. Melalui peresmian pabrik mobil listrik ini, diharapkan bisa mendorong pengembangan mobil listrik di Indonesia. Â “Ini momen yang saya tunggu-tunggu, karena kita ingin segera melakukan transisi besar-besaran dari mobil yang berbahan bakar fosil menjadi mobil listrik yang ramah lingkungan” ujar Presiden Jokowi saat itu.
Tak hanya mobil listrik saja, Presiden juga mengatakan Indonesia juga akan memulai pembentukan pabrik battery cell pada tahun ini. Dengan adanya pabrik baterai mobil listrik, maka Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam industri dan ekosistem kendaraan listrik.
“Kita punya nikel, cobalt dan bauksit yang semua merupakan komponen utama battery cell dan kendaraan listrik. Ini 2022 jadi momen penting pengembangan baterai litium,” ujar Presiden lagi.
Langkah nyata mendukung rencana tersebut, ditargetkan ada 24.720 titik stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) untuk kendaraan listrik hingga 2030 mendatang. Saat ini total SPKLU yang ada di Indonesia sebanyak 267 unit di 195 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia.
Semangat beralih pada energi terbarukan yakni, harga listrik di Tanah Air masih tergolong murah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan tetap menjaga daya beli masyarakat di tengah maraknya kenaikan harga komoditas energi akibat konflik geopolitik global. Kepastian ini bisa dibuktikan dari besaran tarif tenaga listrik di Indonesia saat ini.
Berdasarkan data Maret 2022, tarif listrik Indonesia dinilai masih murah dan bisa bersaing dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara (negara-negara Association of Southeast Asian Nations/ASEAN). Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM, Agung Pribadi menjelaskan, besaran tarif rata-rata untuk pelanggan rumah tangga non subsidi (tariff adjustment) sebesar Rp1.445 per kWh.
Besaran tarif ini jauh lebih murah dibanding tarif listrik rumah tangga di Thailand yang mencapai Rp1.597 per kWh, Vietnam Rp1.532 per kWh, Singapura Rp2.863 per kWh, dan Filipina Rp2.421 per kWh. Sementara untuk golongan Bisnis Menengah-TR, tarif listrik di Indonesia ditetapkan sebesar Rp1.445 per kWh, masih lebih murah dibandingkan di Filipina (Rp1.636/kWh), Malaysia (Rp1.735/kWh), Vietnam (Rp1.943/kWh), dan Singapura (Rp2.110/kWh). Tarif Indonesia untuk golongan ini hanya sedikit di atas Thailand (Rp1.413/kWh).
Bahkan pada golongan Bisnis Besar-TM, tarif listrik di Indonesia merupakan yang termurah se-ASEAN, yakni Rp1.115/kWh, bila dibandingkan konsumen kelas yang sama di Singapura mencapai Rp2.063/kWh, Vietnam Rp1.787/kWh, Filipina Rp1.603/kWh, Thailand Rp1.370/kWh, dan Malaysia Rp1.227/kWh. “Tarif ini sebagai langkah stimulus pemerintah guna menggaet investor untuk memperbaiki iklim bisnis di Indonesia di tengah pandemi,” jelas Agung.
Konsep energi terbarukan semakin nyata didepan mata, roadmap sudah ada, gagasan sudah berjalan dan mendapat dukungan dari semua pihak. Tentu tak ada alasan lagi untuk ditunda. Semoga harapan anak bangsa dalam penggunaan energi terbaru segera terealisasi tanpa syarat apapun itu alasannya. Semoga. (***)
Penulis Kawar Dante
Catatan; Artikel ini juga dimuat di laman Suarakonsumen.co.id